Tampilkan postingan dengan label Dunia Anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dunia Anak. Tampilkan semua postingan

Pertolongan Pertama Pada Anak Keracunan

Keracunan bisa terjadi kapan saja dan kepada siapa saja, termasuk pada anak. Pengertian keracunan sendiri bisa dua. Ada bahan beracun yang memasuki tubuh, atau karena menkonsumsi  makanan tertentu yang memberi reaksi penolakan tubuh, atau yang dikenal sebagai keracunan makanan. Apa yang perlu dilakukan kalau keracunan sampai terjadi, mari kita membahasnya di sini.
  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • Kemendikbud Rintis Pendidikan Keluarga di 5.000 Lembaga Pendidikan

    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan merintis program pendidikan keluarga di 5.000 lembaga pendidikan se Indonesia. Sebagian besar dari jumlah tersebut, adalah sekolah-sekolah, mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

    Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, dan Pendidikan Masyarakat Harris Iskandar pada Rapat Koordinasi Kebijakan dan Program Pendidikan Keluarga, di Bogor, Selasa (11/8). “Program pendidikan keluarga akan diselenggarakan di lembaga pendidikan formal maupun nonformal mulai tahun ini,” ucapnya.
  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • Minum Obat Sirup Pakai Sendok, Ini Bahayanya



    Anda biasa mengukur obat sirup dengan sendok? Hati-hati, itu bisa berbahaya. Studi menunjukkan, mengukur obat dengan sendok berpotensi menyebabkan kesalahan dosis.

    Menurut penelitian yang dilakukan Dr Alan Mendelsohn dari sekolah kedokteran New York University, 50 persen orang mengonsumsi dosis yang salah saat meminum obat sirup dengan ukuran sendok.
  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • Aku Ingin Membaca Qur’an untuk Ibuku

    Sebuah kisah yang menyentuh hati tentang harapan indah seorang ibu kepada anaknya dan bakti sang anak kepadanya.

    Ahmad berumur sebelas tahun ketika ibunya (orang tua tunggal) mengantarnya untuk kelas Qira’ati (membaca Al Qur’an). Saya suka anak-anak itu memulai belajar membaca Qur’an di awal usia, terutama anak laki-laki. Aku sampaikan hal itu pada Ahmad. Namun ia menyampaikan alasannya, bahwa ibunya selalu berharap dapat mendengar bacaan Al Qur’an darinya.

    Ahmad memulai pelajaran Qira’atinya dan sejak itu aku berfikir ini merupakan pekerjaan yang sia-sia. Meskipun aku sudah berusaha keras mengajarinya, ia tampaknya belum bisa mengenal huruf-huruf hijaiyah dan tidak bisa menalar bagaimana membacanya. Namun ia patuh untuk terus membaca Al Qur’an seperti yang kuwajibkan untuk semua murid-muridku.
  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • Jangan Rusak Jiwa Anak Kita!

    Anak yang membanggakan pasti merupakan idaman setiap orangtua. Merupakan hal yang wajar, bila anak yang berprestasi atau memiliki kelebihan kemudian menjadi buah bibir orangtuanya. Hal ini bisa kita lihat manakala para orangtua berkumpul, pasti ada saja topik yang membahas kebanggaan mereka terhadap anak.

    Meskipun membanggakan anak awalnya merupakan tanda syukur kita terhadap karunia Allah, akan tetapi ada beberapa dampak yang harus kita waspadai manakala berbicara tentang hal ini.

    Dampak pertama membanggakan adalah membandingkan. Manakala seseorang membanggakan sesuatu, ia akan cenderung mengganggap remeh hal lain yang menjadi pembandingnya. Dalam hal ini, orangtua yang membanggakan kelebihan anaknya pasti akan membandingkan kelebihan sang anak terhadap anak orang lain yang menjadi lawan bicaranya, secara langsung ataupun tidak. Kondisi membandingkan ini pasti akan menumbuhkan ketidaknyamanan dalam hati lawan bicara. Akibatnya, boleh jadi orangtua yang merasa dibandingkan tersebut “ngedumel” dalam hati atau malah balik menyerang dengan sanggahan dan berakhir dengan pertengkaran.

    Dampak lanjutan dari membandingkan ini adalah perasaan rendah diri orangtua yang berada “di pihak yang kalah”. Mereka akan merasa bahwa anak mereka bukanlah orang-orang yang istimewa. Akibatnya, bukan hanya orangtua yang tertekan, anak-anak pun akan terkena dampak. Orangtua akan memaksa anaknya untuk mencapai keberhasilan yang sama.

    Misalkan saja, orangtua yang memiliki anak berusia di atas satu tahun tetapi belum dapat berjalan cenderung memaksa anaknya untuk segera berjalan, meski hanya dengan mengeluh di depan anaknya, “Koq, kamu belum bisa jalan sih, Nak?”

    Efeknya tentu dapat dirasakan pada harga diri anak. Alih-alih orangtua bertugas sebagai pembangun harga diri dan tempat berlindung anak, orangtua yang telah berada di bawah tekanan pembandingan justru akan melemahkan harga diri anak.

    Bila hal ini tidak segera disadari dan diperbaiki oleh orangtua, anaklah yang menjadi korban dari sebuah ambisi kebanggaan.

    Melihat buruknya dampak yang diakibatkan dari berbangga-bangga ini, tentu sebaiknya kita meninggalkan sikap ini manakala tengah berbicara tentang anak. Seorang ulama bahkan pernah berpesan untuk menghindari membangga-banggakan anak ini ketika kita berada dalam sebuah forum silaturrahim.

    Karena, selain dapat berakibat buruk bagi anak, sikap ini juga dapat merusak persaudaraan.

    Jangan berlebihan

    Kita masih mengingat akan penyebab turunnya ayat 103 surat Ali Imran yaitu sikap bangga-membanggakan antar kabilah yang akhirnya nyaris memicu perkelahian antar sahabat Anshar. Belajar dari peristiwa ini, alangkah baiknya jika kita menghindari sikap bangga-membanggakan yang Allah firmankan dalam surat At-Takatsur ayat 1, yang artinya: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.”

    Selain dapat merusak kehangatan persaudaraan, sikap berbangga ini akan membuat seseorang enggan datang bersilaturrahim atau malah menghindar untuk berbicara. Semua ini tentu akan melalaikan kita untuk menyambung tali silaturrahim dan saling tolong-menolong.

    Padahal, telah sampai kepada kita ayat-ayat-Nya dan sunnah Rasul-Nya yang menyuruh kita untuk saling bahu-membahu dalam kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang dimurkai Allah.

    Tak sedikit di sekitar kita, ada orangtua membangga-banggakan salah satu anaknya dan di saat yang sama menjatuhkan anaknya yang lain.

    “Tiru tuh, kakakmu, bukan seperti kamu,” begitu salah satu orangtua yang pernah saya dengar membanding-bandingkan anaknya.

    Padahal, dengan membanding-bandingkan, akan membuat kerusakan pada jiwa masing-masing anak. Bagi yang dibanggakan ia berpotensi menjadi sombong, sementara bagi yang dijatuhkan, ia berpotensi menjadi rendah diri. Kedua-duanya akan berpotensi memiliki kepribadian buruk di kemudian hari.

    Islam melarang sikap berlebihan. Dalam al_Quran Allah Ta’ala berfirman:

    "Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar…" [An-Nisaa': 171]

    Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:

    “Permudahlah dan janganlah kalian mempersulit. Berikanlah berita gembira, dan janganlah kalian menakut-nakuti”

    Orangtua harusnya besikap adil kepada semua anaknya. Tak perlu menekankan bahwa “anak harus bisa”. Karena setiap anak memiliki potensi berbeda. Alangkah indahnya, jika salah satu potensi dan kelebihan di antara anaknya menjadi pemacu spirit bagi yang lainnya.

    Alangkah indahnya, bila dalam setiap bertemunya orangtua dengan anak, yang hadir hanyalah kata-kata positif yang dapat mendorong dan membantu dan memberi semangat untuk menjadi lebih baik.

    Begitupun bila anak kita memiliki kelebihan, menjadi lebih indah, bila kelebihan tersebut dapat menjadi solusi bagi permasalahan saudara kita. Kelebihan tersebut dapat melengkapi kekurangan yang dimiliki saudaranya.

    Apalagi bila kemudian menjadi kesyukuran dan kebanggaan bersama. Tentu ini akan membuat persaudaraan semakin rekat dan semangat untuk berlomba-lomba menjadi yang terbaik dalam kebaikan semakin subur.

    Jika rasa cinta dan kasih sayang orangtua kurang tercurahkan pada diri anak-anak, tak mustahil ia hanya akan tumbuh sebagai pribadi berprilaku aneh di tengah komunitasnya. Sebaliknya, jika orangtua memberi rasa lebih cinta dan kasih sayang, ia akan tumbuh menjadi pribadi barik di tengah kawan-kawannya. Ia akan menjadi percaya diri dan memiliki kepekaan sosial. Karena itu, kewajiban bagi orang tua untuk memenuhi kebutuhan cinta dan kasih sayang pada mereka.

    Perkataan Ibnu Khaldun dalam Kitab Al Muqaddimah bisa menjadi renungan kita bersama;

    “Barangsiapa yang pola asuhannya dengan kekerasan dan otoriter, baik (ia) pelajar atau budak ataupun pelayan, (maka) kekerasaan itu akan mendominasi jiwanya. Jiwanya akan merasa sempit dalam menghadapinya. Ketekunannya akan sirna, dan menyeretnya menuju kemalasan, dusta dan tindakan keji. Yakni menampilkan diri dengan gambar yang berbeda dengan hatinya, lantaran takut ayunan tangan yang akan mengasarinya”.*


    Sumber: hidayatullah.com

  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • Trik Membuat Anak Cinta Baca

    Menumbuhkan atau mengajak anak untuk gemar membaca memang harus dilakukan sejak dini. Namun, upaya ini terkadang tak mudah. Ibaratnya seperti meminta anak untuk minum obat saat mereka sakit atau mencekokinya dengan jamu pahit.

    Penulis buku anak-anak, ilustrator, guru, dan pendiri National Children's Book and Literacy Alliance, Mary Brigid Barred, berbagi sejumlah tips yang mungkin bisa diterapkan terhadap anak Anda. Silakan disimak!

    1. Buatlah anak Anda merasakan dengan indra mereka apa yang diceritakan pada buku yang dibaca.

    Ajaklah mereka merasakan apa yang diceritakan di buku itu dengan indra mereka sehingga mereka merasa memiliki bagian atau menjadi salah satu tokoh di buku tersebut.

    "Sangat mengagumkan ketika sebuah buku menjadi hidup dan dirasakan oleh indra anak-anak. Saya suka membacakan buku karya Robert McCloskey kepada anak-anak TK, dan pertama-tama saya selalu membagikan lemon untuk mereka. Cerita buku ini tentang seorang anak lelaki yang tinggal di sebuah kota kecil di Ohio dan menjadi penyelamat karena harmonikanya. Ada sebuah bagian di mana band kota tersebut siap untuk manggung di acara perayaan, tetapi tiba-tiba mereka diserang oleh si jahat Old Sneep sambil mengisap lemon. Band tersebut mengerut karena takut sehingga tak bisa memainkan alat musik mereka. Pada bagian itu, saya selalu berseru kepada anak-anak, 'Isap lemon kalian sekarang!' Mereka dengan bersemangat mengisap lemon mereka dan merasakan menjadi Old Sneep," kisah Mary.

    2. Ajak anak berpikir kritis dengan cara menyenangkan.

    Anda tentu ingin anak Anda dapat berpikir kritis. Salah satu guna pendidikan adalah mengasah anak dapat berpikir secara kritis. Dan, tidak pernah ada kata terlalu dini untuk mengajak anak berpikir kritis. Begitu pula lewat membaca.

    Kita ambil contoh cerita tentang laba-laba sang penyelamat.

    Mary mengisahkan, ketika ia bertanya kepada anak-anak umur empat tahun siapakah pahlawan dari cerita tersebut, mereka selalu menjawab dengan semangat, "Laba-laba!" Lalu, Anda dapat melanjutkan dengan, "Laba-laba itu punya kesulitan ketika menjadi penyelamat, kira-kira apa, ya, kesulitannya?"

    Kepada anak-anak umur enam tahun, Anda bahkan bisa mengenalkan konflik. Tanyalah kepada mereka, "Apa, ya, yang bakal terjadi jika tidak ada hujan, lalu laba-laba tersebut bisa memanjat dan keluar dari saluran pembuangan tersebut?"

    Jika dalam satu cerita tidak ada konflik atau masalah yang harus diselesaikan, tentu cerita itu akan membosankan, bukan? Anda bisa menjelaskan kepada anak Anda siapa tokoh protagonis, tokoh antagonis, konflik, dan resolusi dari cerita tersebut.

    Dengan begitu, Anda sudah menunjukkan elemen-elemen sebuah cerita pada anak Anda. Seru, bukan? Jika Anda sudah bosan membacakan cerita ini untuk yang kelima kalinya atau bahkan lebih untuk anak Anda, hal-hal seperti ini akan mengeluarkan Anda dari kebosanan karena Anda tidak menceritakan hal yang itu-itu saja!

    3. Tulis buku Anda sendiri.

    Untuk anak-anak yang baru mulai membaca, siapkanlah notebook atau scrapbook dengan halaman kosong dan isi buku tersebut dengan kata-kata mereka. Anda bisa mulai dengan keluarga Anda. Siapkan foto ayah dan ibu. Bahkan, Anda bisa meminta si sulung untuk menggambarinya. Siapkan foto kakek, nenek, atau anggota keluarga lain. Anda bisa memcentak cerita tersebut dengan huruf-huruf besar dan tebal.

    Dengan cara ini, orangtua juga bisa berkreasi sesuai hal yang disenangi anak. Misalnya anak Anda suka sekali dengan pemadam kebakaran, isi buku kosong tersebut dengan gambar-gambar yang berhubungan dengan pemadam kebakaran.

    Mary mengungkapkan, ia mengenal satu keluarga yang anaknya terobsesi sekali dengan penyedot debu. "Ketika bertemu dengan saya, anak itu bertanya apakah saya punya tabung tegak atau tidak. Ini merupakan pengantar yang hebat untuk menulis. Ketika nanti anak Anda bertambah besar, bahkan mereka bisa 'kecanduan' untuk menulis cerita mereka sendiri," paparnya.

    Selamat mengaplikasikan!


    Sumber: edukasi kompas
  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • previous home